Angsa Hitam dan Angsa Putih: Mengapa Keberulangan Bukan Sains Bagi Popper?


Senin malam, tepatnya di 16 Januari 2023, saya menemukan sebuah tweet yang di-quote tweet oleh @adriandanarw sebagai berikut:


Dari sekian banyak tweets ada satu tweet yang sedikit mengganggu bagi saya yakni pernyataan yang menyatakan berikut:

Saya pribadi hingga saat ini belum membaca Bhaskar yang menyatakan sains bagi Popper hanya bermain di ranah penampakan dan keberulangan, tapi saya pribadi sudah membaca Popper, khususnya The Logic of Scientific Discovery (chapter I-IV) yang menekankan bagaimana verifikasionisme menimbulkan the problem of induction dan menekankan pentingnya falsifikasionisme untuk pengujian sebuah teori sains.

Singkatnya, Popper menekankan tentang pentingnya demarkasi antara sains dan bukan sains melalui falsifikasionisme. Yakni sebuah teori dikatakan sebagai sains apabila dapat dibuktikan salah lewat sebuah eksperimen. Falsifikasionisme ini adalah lawan dari verifikasionisme yang berusaha mencari bukti dengan memverifikasi pengetahuan akan dunia lewat keberulangan pengalaman.

Misal ketika kita melihat angsa berwarna putih, dan selama bertahun-tahun hingga kita berusia 40 tahun kita terus-menerus melihat angsa berwarna putih, bagi Popper kita tidak bisa menarik kesimpulan (untuk membuat sebuah teori) berdasarkan pengalaman 40 tahun ini bahwa semua angsa itu berwarna putih.

Begitu pula dengan pengalaman kita menganggap kalau matahari selalu terbit dari timur, atau pengalaman kita akan suhu suatu objek akan selalu naik secara linear mengikuti waktu tidak bisa dijadikan dasar untuk sebuah teori dalam sains.

Bagi Popper, penting untuk sebuah teori sains dirancang sedemikian mungkin agar bisa dibantahkan lewat sebuah eksperimen.

“Air yang dipanaskan akan memuncak pada titik didih 100°C” adalah sebuah pernyataan yang dapat dibantahkan dengan membuat sebuah eksperimen memanaskan air. Teori titik didih ini didesain sedemikian rupa untuk dibantahkan jika ternyata ditemukan kalau suhu air dapat terinterpolasi menjadi tidak hingga dengan mengikuti waktu air dipanaskan.

Karena ini pula Popper menganggap Freudian psychoanalisis sebagai pseudoscience karena Freud bukannya memfalsifikasi pikirannya akan dunia untuk mencari kebenaran, tapi malah memverifikasi pikirannya akan dunia untuk mencari kebenaran. Ini dapat dilihat dari bagaimana teori-teori Freud didasari akan observasi-observasinya pada pasiennya dan kemudian menarik kesimpulan dari sana.

Pernyataan yang menyatakan sains bagi Popper hanya bermain di ranah penampakan dan keberulangan adalah keliru. Bahkan, Thomas Khun yang dikenal sebagai pengkritik dari falsifikasionisme Popper juga menyadari kalau Popper adalah penentang dari observasi berdasarkan pengalaman akan keberulangan. Dalam The Structure of Scientific Revolution (p.146), Khun menegaskan kalau “A different approach to this whole network of problems has been developed by Karl R. Popper who denies the existence of any verification procedures at all. Instead, he emphasizes the importance of falsification, i.e., the test that, because its outcome is negative, necessitates the rejection of the established theory

Angsa Hitam dan Angsa Putih

Bagi Popper, untuk membuktikan pernyataan kalau “Semua angsa berwarna putih” (PQ) adalah dengan melakukan pengujian melalui mekanisme falsifikasionisme dengan mencari angsa yang bukan berwarna putih (P→~Q). Bukan dengan memverifikasi keberulangan dari pengalaman kalau semua angsa berwarna putih (verifikasionisme).

Hanya dengan menemukan 1 angsa hitam di New Zealand kita bisa membantah induksi yang didapat dari pengalaman kolektif yang berulang kalau semua angsa berwarna putih itu benar.

Lantas, apakah sebelum kita menemukan “Ada angsa berwarna hitam (bukan putih)” maka pernyataan “semua angsa berwarna putih?” benar adanya?

Tentu saja tidak. Kebenaran (scientific truth) tidak pernah berubah. Namun pikiran-kita-akan dunia lah yang berubah (scientific theory) lewat proses falsifikasionisme. Dari yang awalnya keliru menjadi lebih tidak keliru/kurang keliru. Bagi saya ini pertanyaan yang serupa apakah sebelum teori atom modern ditemukan dengan demikian teori atom sebelumnya benar? (mengingat ada begitu banyak teori atom)

Empirisisme dan Sains

Untuk mengkoreksi kesalahan penggunaan terma saya sebelumnya. Sains dan empirisisme adalah dua hal yang berbeda, setidaknya bagi Popper. Dalam beberapa tweet saya tidak sengaja menukar empirisisme dengan sains ala Popper.

Empirisisme singkatnya adalah filosofi yang mengutamakan pentingnya observasi dan pengalaman untuk memahami dunia. Empirisisme menekankan kalau pengetahuan diperoleh satu-satunya lewat pengalaman indrawi, dan teori-teori ilmiah harus didasari bukti yang dapat diobservasi dan diuji.

Sedangkan, sains, bagi Popper, merujuk pada sebuah metode sistematis untuk mendapatkan pengetahuan lewat eksperimen yang dapat difalsifikasi. Dengan kata lain, observasi semata (terutama verifikasionisme/penggunaan metode induksi) tidaklah cukup untuk mendapatkan bukti, bagi Popper.

Marxism dan Sains

Jika kita menggunakan Popperian demarcation of science, jelas sains bukanlah keberulangan akan pengalaman atau verifikasionisme sebagaimana yang dijelaskan oleh @eaxxdr. Sains tidak serta merta empirisisme yang mengandalkan verificationism.

Lantas bagaimana dengan marxism? Apakah marxisme adalah sains sebagaimana klaim @eaxxdr?

Bagi saya, menggunakan Popperian demarcation of science sebagian dari marxism berasal dari empirisisme (verifikasionisme), bukan sains. Misal alienation theory dari Marx yang menyatakan, konsekuensi dari masyarakat kapitalistik adalah teralienasinya kelompok pekerja baik pada dirinya atau lingkungannya sendiri akibat eksploitasi dari para pemilik modal.

Hal ini didasari oleh observasi dari Marx dan Engels dalam melihat kondisi para kelas pekerja (buruh), dan tidak ada cara untuk memfalsifikasi ini. Namun selalu ada cara untuk memverifikasi teori ini. Mirip dengan teori psikoanalisis dari Freud yang akan selalu ada cara untuk memverifikasinya.

Tentu Marxisme tidaklah empiris dalam arti tradisional, tapi teori alienasi Marx ini dapat dianggap empiris dalam artian bahwasanya teori ini didasari beberapa observasi atas kondisi kelas buruh yang dilakukan oleh Marx. Misalnya, Marx mengobservasi bahwasanya di bawah kapitalisme, kaum buruh terpisahkan dari alat produksi dan terpaksa untuk menjual usahanya (labor) untum bertahan hidup.

Selain itu beberapa peneliti menyatakan teori ini empiris dalam artian dapat diuji dalam kondisi ril-dunia dalam masyarakat kapitalistik.

Misalnya beberapa peneliti Marxism, seperti etnograf dan sosiolog, telah melakukan beberapa penelitian kualitatif dan kuantitatif untuk menguji teori alienasi dari Marx, seperti hubungan antara buruh dan produk hasil kerjanya, bagaimana para buruh merasakan keterasingan di tempat kerjanya, dsb.

Oleh karena itu, bagi saya, dengan menggunakan Popperian demarcation of science, Marxism adalah verifikasionisme. Setidaknya untuk alienation theory. Dengan kata lain, pseudoscience.

Pragmatisme Sains

Semua yang selama ini dianggap benar dalam sains, jika ada bukti empiris yang jauh lebih baik dan membantahnya, tentu akan terbantahkan. Ini adalah salah satu point utama dalam verisimilitude dari Karl Popper.

Sederhananya, verisimilitude menegaskan kalau tujuan dari penyelidikan ilmiah (scientific inquiry) adalah pencarian kebenaran lewat falsifikasionisme yang diusung Popper. Bahwasanya teori yang dibuktikan salah oleh sebuah teori yang baru mendekatkan kita pada kebenaran baru. Tentu verisimilitude ini tidak lepas dari kritik para filosof sains.

Demarkasi antara apa yang sains dan bukan sains Popper ini tentu berbeda dengan Khun, di mana bagi Khun demarkasi antara sains terletak pada puzzle-solving criteria dalam normal science. Namun demarkasi yang diberikan oleh Khun ini tidak praktis untuk membedakan apa yang sains dengan bukan sains, bahkan ini dapat digunakan dengan mudah untuk menjustifikasi kreasionisme maupun lysenkoism.

Karena itu dalam komunitas ilmiah, Popperian demarcation of science ini masih dipergunakan karena pragmatismenya dan kebergunaannya (kemudahannya) untuk memberikan demarkasi antara apa yang sains dan bukan sains. Falsifiability dan juga replicability dari penelitian masih menjadi persyaratan dalam komunitas ilmiah untuk menentukan apakah sebuah teori/temuan layak dipertahankan atau tidak.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *